Kerja keras, konsistensi dan integritas mengantarnya sebagai akademisi sekaligus politisi yang mumpuni. Ia pun mendapatkan kehormatan di luar perkiraannya: menjadi Menteri Hukum dan HAM dua periode di Pemerintahan Jokowi dan diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Kriminologi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK).
Sorak-girang benar-benar menggemuruh di sebagian besar orang Nias, ketika pada 27 Oktober 2014, Presiden Jokowi mengumumkan nama Yasona Hamonangan Laoly sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bagi warga Nias, ini peristiwa langka. Bisa jadi kesempatan hanya sekali. Ada kebanggaan yang begitu meluap. Maklum saja, sepanjang sejarah Republik Indonesia, itu kali pertama seorang putra Nias menjadi seorang menteri! Orang yang berlatar etnik Nias—sering disebut sebagai Ono Niha–merasa kepalanya turut disematkan sebuah mahkota emas nan berkilau.
Ono Niha ternyata bisa. Ono Niha ternyata dihargai. Ini sejarah! Dan, sejarah itu ditorehkan oleh seorang Yasonna Hamonangan Laoly. Ini pencapaian tertinggi bidang pemerintahan di kalangan orang Nias. Tentu saja, prestasi yang amat membanggakan itu, tidak tercipta begitu saja. Ini salah satu buah dari serangkaian perjuangan hidup Yasonna, yang tidak saja keras, tapi konsisten serta sarat nilai-nilai sebagai akademisi sekaligus politisi yang mumpuni. Tak heran bila dia mendapat kehormatan di luar perkiraannya: Menjadi Menteri Hukum dan HAM di Pemerintahan Jokowi Periode 2014-2019.
Dalam kabinet yang diberi nama Kabinet Kerja itu, Yasonna kemudian berhasil menunjukkan kerja keras, konsistensi dan integritas lewat beragam prestasi, terobosan maupun gebrakan. Alhasil, ketika Jokowi kembali terpilih sebagai presiden untuk kedua kali, Yasonna kembali ditunjuk sebagai Menkumham dalam Kabinet Indonesia Maju.
Selain itu, Presiden Jokowi juga memberinya tugas khusus untuk menangani omnibus law. Omnibus Law adalah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Biasanya pembuatan UU ini dilakukan dengan revisi atau pencabutan UU yang ada sebelumnya.
Menariknya, saat kali kedua terpilih sebagai Menkumhan, Yasonna sebenarnya sudah sukses melenggang sebagai wakil rakyat dari Fraksi PDIP di DPR-RI untuk periode 2019-2024, bahkan telah dilantik pada 1 Oktober 2019. Namun akhirnya dia mengundurkan diri sebagai anggota DPR dan memilih mengabdi sebagai menteri.
“Blasteran” Nias-Batak
Nama ‘Yasonna Hamonangan Laoly’ mungkin terdengar sedikit aneh di telinga, khususnya bagi masyarakat di luar Provinsi Sumatera Utara, sebab nama ini memadukan unsur bahasa Batak dan Nias.
Nama ‘Yasonna’ diambil dari bahasa Nias ‘Yaso Nasa’, artinya ‘masih ada lagi’. Harapan ayahnya agar setelah kelahiran Yasonna, masih ada lagi adik-adik Yasonna yang akan terlahir. Sedangkan ‘Hamonangan’ dalam bahasa Batak berarti ‘kemenangan’. Dan ‘Laoly’ merupakan salah satu marga dalam masyarakat Nias.
Ya, lelaki kelahiran 27 Mei 1953 ini memang mewarisi gen dari dua etnis yang berbeda, yakni ayah bersuku Nias bernama F. Laoly dan ibu bersuku Batak bernama R. Sihite. Bisa jadi, faktor ini yang membuat tumbuh sebagai anak yang tampan dan cerdas.
Ayahnya berlatar belakang polisi, dengan pangkat terakhir mayor. Lalu menjadi anggota DPRD Kota Sibolga dan anggota DPRD Tapanuli Tengah dari Fraksi ABRI.
Anak pertama dari enam bersaudara ini dilahirkan di Sorkam-Tapanuli Tengah. Pada saat ia berumur dua tahun, keluarganya sempat pindah ke Barus-Tapanuli Tengah. Beberapa tahun kemudian, pindah lagi ke Kota Sibolga. Di Sibolga inilah Yasonna menghabiskan masa kecil dan remaja.
“Di Sibolga, awalnya kami tinggal di sebuah rumah kontrakan, tetapi kemudian sekitar tahun 1960-an, kami diperkenankan untuk tinggal di Asrama Polisi Sambas Sibolga. Tak lama kemudian orangtua akhirnya mampu membangun rumah sendiri,” tuturnya.
Rumah di Jalan Jati Nomor 34, Kelurahan Pancuran Kerambil, Kecamatan Sibolga Sambas itu hingga kini masih kokoh berdiri, namun tetap sederhana, seperti dulu. Di sanalah, orangtua Yasonna membesarkan keenam anaknya.
Masa kecil Yasonna berjalan normal sebagaimana anak-anak lainnya. Bermain dengan teman- teman sebaya menjadi rutinitas sehari-hari. Dalam pandangan saudaranya, Yasonna adalah pria yang baik, rajin, dan bertanggung jawab membimbing adik-adiknya.
“Dia itu abang yang baik dalam membina keluarga, terutama kepada kami adik-adiknya. Dia juga pria yang punya sikap tegas dan disiplin,” papar adik kelimanya, Imanuel Laoly, suatu ketika.
Ada satu kenangan masa kecil yang tak akan pernah dilupakannya, yaitu perjuangan berat kedua orangtua dalam menghidupi keluarga dan menolong sesama. Karena gaji sebagai anggota polisi tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, di sela-sela waktu tugas, ayahnya berusaha mencari tambahan uang dengan berdagang minyak goreng.
Sang ayah membeli minyak goreng di Toko Berniaga milik saudaranya Ama Ya’aro Laoly di Medan, untuk kemudian dijual lagi di Sibolga.
“Saya naik sepeda bersama ayah, sambil menenteng kaleng minyak yang sudah kosong untuk dikirim lagi dengan menggunakan kapal. Saya merasakan benar kerja keras orangtua demi mencari tambahan uang. Kami sudah pernah makan nasi campur jagung untuk menghemat uang,” kenang Yasonna
Perjuangan sang ibu pun tak kalah berat, karena hampir setiap hari rumah mereka dikunjungi tamu dari Nias. Sosok sang ayah yang polisi sekaligus merupakan tokoh masyarakat Nias di Sibolga dan Tapanuli Tengah, menyebabkan banyak orang datang dengan berbagai keperluan. Mau tak mau, ibunya harus berpikir keras agar penghasilan suaminya dapat mencukupi kebutuhan keluarga sekaligus menjamu tetamu yang datang silih-berganti.
“Banyak orang, terutama orang Nias, ketika itu datang meminta bantuan. Ada yang minta perlindungan sehabis berkelahi, ada yang dikejar-kejar karena melarikan anak orang. Ayah berusaha keras mendamaikannya. Saya ingat ibu sampai pusing memikirkan bagaimana cara menjamu tamu, mengingat keuangan keluarga kami yang sudah menipis. Tetapi lewat kejadian- kejadian itu, saya ditanamkan nilai-nilai keikhlasan dalam menolong sesama,” ujarnya.
Hal lain yang masih terekam jelas dalam ingatan Yasonna adalah betapa orangtuanya selalu berusaha menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah terbaik, meski sekolah itu adalah sekolah swasta yang biaya pendidikannya lebih mahal dibanding sekolah negeri. Yasonna sendiri bersekolah di SD Katholik Sibolga, SMP Negeri 1 Sibolga, dan SMA Katolik Sibolga.
Batal Jadi Pendeta
Ketika duduk di kelas 1 SMA, sang ayah sempat mengutarakan keinginan agar kelak Yasonna dapat menjadi pendeta. Yasonna setuju. Bahkan ia mengikuti kursus bahasa Inggris sistem jarak jauh di sebuah lembaga kursus di Bandung. Ia mendapat informasi kalau banyak pendeta yang belajar sampai ke luar negeri. Cita-cita untuk sekolah ke luar negeri mulai tumbuh dalam dirinya.
Namun menjadi seorang pendeta rupanya bukan takdir hidupnya. Menjelang tamat SMA, ia berkunjung ke rumah keluarganya yang ada di Medan. Kakak sepupunya, Ama Gawa’a Laoli, melontarkan sebuah pertanyaan kepadanya perihal rencana studi lanjutan. Ia mantap menjawab ingin jadi pendeta. Tapi kakak sepupunya itu kurang setuju. Alasannya, sudah banyak orang Nias jadi pendeta. Yasonna pun kemudian diajak jalan-jalan ke kampus Universitas Sumatera Utara (USU).
Di kampus USU itulah tiba-tiba muncul keinginan Yasonna untuk kuliah di jurusan hukum. Niat jadi pendeta pun langsung pupus. Sepulangnya ke Sibolga, Yasonna segera memberitahu orang tuanya. Semula ayahnya sempat marah besar, namun akhirnya mengalah.
Berbeda dengan masa sekolah, masa kuliah Yasonna diwarnai prestasi akademik yang sangat baik. Pada masa itu, tidak ada istilah semester untuk menandai tahun perkuliahan, melainkan dipakai istilah “tahun pertama”, “tahun kedua”, “tahun ketiga” dan seterusnya. Di tahun pertama dan tahun kedua, Yasonna berhasil naik tingkat dengan predikat “lulus bersih”– sebuah istilah untuk menggambarkan keberhasilan naik tingkat dengan nilai sempurna.
“Sangat jarang mahasiswa bisa naik tingkat dengan predikat ‘lulus bersih’. Cuma saya yang lolos di antara teman seangkatan. Padahal pada masa itu, Fakultas Hukum USU dikenal menerapkan standar sangat tinggi bagi kelulusan mahasiswa. mungkin karena dosen-dosennya banyak lulusan zaman Belanda,” ujarnya.
Di tahun ketiga kuliah, Yasonna mulai aktif berorganisasi. Beberapa organisasi pernah dia ikuti, antara lain Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tahun 1976. Sementara di internal kampus, Yasonna aktif dalam kegiatan senat mahasiswa, dan sempat menjabat Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum.
Yasonna muda sudah mulai tergerak memikirkan eksistensi mahasiswa Nias. Pada masanya kuliah, mahasiswa Nias terpecah di berbagai kelompok. “Sudah sedikit, terpecah pula,” ujarnya.
Lantas, ia mengajak teman-temannya untuk menyatukan kekuatan. Tidak gampang, karena ada saja yang berprasangka buruk. Tapi, ia tidak patah arang. Ia tetap gigih. Akhirnya terbentuk juga dengan nama Kesatuan Mahasiswa Nias (KMN). Ia dipercaya sebagai ketua umum.
Jadi Pengacara dan Dosen
Memasuki tahun keempat perkuliahan, Yasonna mulai mengembangkan sayap menjadi pengacara dengan menangani perkara perdata maupun pidana. Kasus pertama yang dia tangani adalah kasus perceraian. Ia mengaku kalau penanganan kasus semacam itu kurang membanggakan. Namun setelah itu, kasus-kasus lain mulai dia tangani, mulai masalah hutang piutang sampai membela seorang terpidana mati. Bersama Mukhtar Pakpahan dari Lembaga Bantuan Hukum Nommensen, Yasonna juga pernah membela purnawirawan Polri yang rumahnya digusur. Kasus ini sangat menyentuh perasaan mengingat latar belakangnya sebagai keluarga polisi.
Setelah lulus kuliah pada 1978, Yasonna melamar sebagai dosen di Fakultas USU, tetapi ternyata tidak diterima. Tidak mau berputus asa, karir sebagai pengacara independen pun dia lakoni.
Pengalaman menjadi pengacara ketika masih menyandang status mahasiswa menjadikan rasa percaya dirinya tumbuh begitu kuat. Kepercayaan diri itu pula yang membuatnya berani menikahi seorang gadis bernama Elisye W. Ketaren. Padahal saat itu, Yasonna baru lulus kuliah dan dia hanya berprofesi sebagai pengacara independen yang tidak punya penghasilan tetap. Bersama Elisye, mereka dikaruniai empat anak, yaitu Novrida Isabella Laoly, Fransisca Putri Askari Laoly, Yamitema Tirtajaya Laoly, dan Jonathan Romy Laoly.
Pertolongan Tuhan datang lewat berbagai macam cara. Salah seorang tamu yang hadir dalam pesta pernikahannya, yakni Maruarar Siahaan—mantan hakim Mahkamah Konstitusi yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI). “Di pesta itu, Pak Maruarar berkata, ‘Eh, kamu nanti datang ke kantor saya. Ada orang ingin bertemu kamu.’ Saya pun datang ke kantornya. Di sana ada rekannya, bernama Hasan Chandra,” kenang Yasonna.
Singkat cerita, atas rekomendasi Maruarar Siahaan, Yasonna pun diterima bekerja sebagai penasehat hukum Hasan Chandra. Meski sudah diberi rekomendasi, tetap saja ia harus menjalani sebuah tes, sebelum akhirnya resmi diterima sebagai pengacara.
“Saya masih ingat tesnya. Saya disodori berkas sebuah kasus. Saya diminta untuk menyusun gugatan dari kasus tersebut. Belakangan saya baru tahu kalau itu kasus lama yang pernah ditangani oleh seorang pengacara terkenal dan sudah diputus oleh pengadilan. Gugatan yang saya susun ternyata tidak jauh berbeda dengan gugatan yang disusun oleh pengacara senior tadi. Melihat hasil tes itu, saya langsung diterima,” tutur Yasonna.
Ia juga sering menangani kasus-kasus kompleks selama bekerja di sana, terutama yang berkaitan dengan masalah pertanahan. Kemampuan dan pengalamannya pun semakin bertambah. Dan tentunya, Yasonna senang sekali karena punya gaji tetap setiap bulan.
Karir Yasonna lantas berkembang, bukan hanya sebagai pengacara, tapi juga sebagai dosen.
Bermula ketika beberapa teman sesama pengacara, mengajaknya memasukkan proposal pembukaan Fakultas Hukum di Universitas HKBP Nommensen Medan. Tetapi karena proposal itu diserahkan berdekatan dengan waktu penerimaan mahasiswa baru, maka rektor Universitas HKBP Nommensen saat itu, OHS Purba, menyarankan agar mereka datang lagi di tahun berikutnya.
Di tahun ajaran berikutnya, proposal itu lantas disetujui. Yasonna pun ditunjuk dalam sebuah kepanitiaan kecil untuk ikut menyusun kurikulum perkuliahan, mengurus izin ke Kopertis, dan mengundang dosen-dosen dari Fakultas Hukum USU dan beberapa pengacara profesional untuk ikut mengajar di Nommensen. Ketika Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen akhirnya benar-benar dibuka, Yasonna langsung ditunjuk menjadi Pembantu Dekan I.
Hijrah ke Politik
Yasonna merasa bersyukur karena banyak impiannya bisa terwujud. Salah satunya mimpi bisa sekolah ke luar negeri. Tahun 1983, Universitas HKBP Nommensen mengirimnya untuk kuliah nongelar di Roanoke College, di Salem, Virginia, Amerika Serikat.
Program perkuliahan yang disebut Internship in Higher Education Administration itu bertujuan menyiapkan siswa menjadi pemimpin di universitas. Dalam program ini, Yasonna mempelajari sistem administrasi selama 1 tahun.
Lulus dari program tersebut, Yasonna langsung kuliah S2, juga atas bantuan Universitas HKBP Nommensen, di Virginia Commonwealth University Amerika Serikat.
“Saya lulus dengan nilai tertinggi hingga memperoleh penghargaan Outstanding Graduate Student Award. Surat penghargaan itu saya serahkan ke Rektor HKBP Nommensen. Rektor langsung menyuruh saya untuk kuliah S3. Akhirnya saya mengambil program doktor di North Carolina State University di Amerika Serikat,” ujarnya.
Sekembalinya ke Indonesia, Yasonna terpilih menjadi Dekan Fakultas Hukum. Pada 1998, bergulir Gerakan Reformasi. “Di awal gerakan reformasi, saya melihat masalah bangsa sangat berat sekali, ekonomi down, suasana politik benar-benar chaos. Saya merasa punya bekal pendidikan, punya pengetahuan, punya latar belakang sebagai aktivis mahasiswa, saya ingin ikut memperbaiki keadaan itu,” katanya.
Atas saran beberapa teman, Yasonna pun terjun ke dunia politik. Kebetulan orientasi politiknya sudah terbentuk sejak masih kuliah di USU. Dia selalu ikut kampanye mendukung PDI pada masa pemilu. Maka dia pun mantap bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ketika Pemilu 1999, Yasonna terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (1999- 2004) mewakili Kepulauan Nias. Sepertinya, ia menemukan panggungnya di bidang politik. Dunia politik benar-benar ditekuninya. Maka ia pun masuk di struktur kepengurusan DPD PDIP sebagai salah seorang wakil ketua.
Pernah juga dipercaya sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan di DPD PDIP. Beberapa tahun sebelum Pemilu 2004, ia mengikuti Kursus Guru Kader Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh DPP PDIP. Lalu ia diberi amanah untuk mengkoordinir kursus serupa di tingkat Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, kesibukannya semakin bertambah, karena sudah mulai sering diminta oleh DPP PDIP untuk membantu beberapa urusan penting. Seiring dengan itu, jejaringnya pun semakin luas.
Meskipun demikian, ia tetap rindu menularkan ilmunya kepada mahasiswa. Di sela-sela kesibukannya, ia berusaha menyempatkan diri mengajar di kampus Universitas HKBP Nommensen Medan dan beberapa program pascasarjana. Hingga sekarang ia masih tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
Berbekal pengalaman, kapasitas ilmu dan jejaring itu, maka ia memutuskan untuk “naik kelas”. Pada Pemilu 2004, ia bertarung menjadi salah seorang Calon Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumut I (Medan, Deliserdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi). Ia percaya diri saja meski diletakkan di nomor urut 2. Ternyata, kerja kerasnya berhasil. PDIP mendapat dua kursi di daerah pemilihan tersebut. Ia pun melenggang ke Senayan.
Pada Pemilu 2009, ia kembali diberi ruang dan kepercayaan untuk menjadi salah seorang Calon Anggota DPR RI dari PDIP. Ia dipindahkan ke Daerah Pemilihan Sumut II (meliputi Kepulauan Nias, Tapanuli, Asahan dan Labuhan Batu). Lagi-lagi ia beruntung. PDIP dapat dua kursi. Pada periode kedua ini, karirnya semakin melejit. Ia dipercaya menduduki jabatan strategis, di antaranya Ketua Fraksi PDIP MPR RI, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI. Ia bahkan sempat dinominasikan sebagai Ketua MPR RI pascameninggalnya Taufik Kiemas. Ia juga beberapa kali memimpin Panitia Khusus RUU Politik. Ia benar-benar diperhitungkan sebagai politisi yang mumpuni. Ia terkenal sebagai politisi yang handal mengemukakan pendapat. Bicaranya lantang tapi runtut. Memikat orang yang mendengar. Namun tidak asal bicara. Kedalaman ilmu serta kekayaan wawasan membuat setiap pendapat dan pandangannya terasa tajam dan berbobot.
“Ketika menjadi pimpinan di Badan Anggaran DPR RI, salah satu hal yang saya kenang adalah saat mendorong pemerintah untuk memperbesar anggaran ke daerah. Karena kami percaya pembangunan dimulai dari daerah. Saat itu, kita benar-benar menekan pemerintah untuk meningkatkan anggaran tersebut,” kata lelaki yang suka joging itu.
Sewaktu menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di MPR, Yasonna sempat pergi ke banyak daerah sampai jauh ke pedalaman untuk menyosialisasikan “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”. Penyuka masakan Manado ini merasa penting menyosialisasikan falsafah tersebut di tengah lunturnya semangat nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda.
Memimpin Kemenkumham
Karir politik Yasonna Hamonangan Laoly semakin melesat ketika Presiden Joko Widodo mengangkatnya sebagai Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Pengalaman bertahun- tahun sebagai seorang akademisi di bidang hukum sekaligus pengacara, serta pengalaman menjadi anggota Komisi III DPR/MPR-RI (2005-2009), menjadikannya mudah beradaptasi di posisi barunya saat ini.
Yasonna membuat sebuah gerakan di lingkungan Kemenkumham, berupa kredo “Ayo Kerja, Kami Pasti”, yang dimulai sejak 1 Juni 2015. “Ayo Kerja” lebih merupakan dorongan agar para pegawai di lingkungan Kemenkumham selalu giat bekerja. Sementara “Kami Pasti” merupakan singkatan dari Kami Profesional, Akuntabel, Sinergis, Transparan, Inovatif.
“Saya membentuk tim ke daerah-daerah untuk mengampanyekan gerakan itu. Lewat gerakan tersebut, pegawai Kemenkumham diberi pemahaman supaya giat bekerja. Tapi jangan sampai merasa paling hebat sendiri, sebab dia hanya bisa bekerja dengan baik kalau mau bersinergi dengan yang lain. Dia harus transparan dalam pengambilan keputusan, dalam pengelolaan keuangan dan sebagainya. Dia juga harus mampu melahirkan inovasi-inovasi baru untuk mempercepat dan memperbaiki kinerja Kemenkumham,” ujar penggemar lagu-lagu Frank Sinatra itu.
Meski begitu, Yasonna mengakui bukan hal mudah untuk memimpin kementerian sebesar Kemenkumham. Beragam persoalan dan tantangan menerpa dirinya, antara lain persoalan buruknya kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan masuknya narkoba ke dalam lapas. Sudah bukan rahasia umum jika banyak lapas di Tanah Air mengalami overkapasitas. Tidak main-main, di beberapa lapas, overkapasitasnya melonjak sampai 700%. Banyak tahanan yang tidurnya harus bergantian karena kurang tempat tidur, atau tidur berdesakan dalam sebuah ruangan. Ada juga lapas yang kekurangan fasilitas kamar mandi. Akibatnya di pagi hari, satu kamar mandi bisa diantri oleh tiga puluh orang. Dengan kondisi lapas seperti itu, satu hari ditahan di sana, terasa seperti satu tahun.
“Ada juga lapas yang hanya punya empat petugas, sementara mereka harus mengawasi tujuh ratus tahanan dari beragam latar belakang tindak kriminal. Bayangkan? Yang bisa dilakukan keempat sipir itu setiap hari hanya berdoa,” ujar Yasonna dengan nada prihatin.
Dalam Pusaran Kritik
Semakin tinggi pohon tumbuh, semakin kencang angin menerpa. Pepatah lama itu kiranya tepat untuk menggambarkan posisi Yasonna saat ini. Sebagai seorang menteri yang berasal dari parpol pemenang pemilu, tak urung dia ikut menjadi salah satu ‘sasaran tembak’ golongan oposisi.
Beberapa kebijakannya menuai kritik dari lawan-lawan politik, antara lain kebijakan seputar kisruh Partai Golkar dan PPP serta pemberian remisi untuk koruptor. Yasonna dianggap memecah belah Partai Golkar dan PPP serta tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi.
Yasonna merasa yakin jika kebijakannya sudah sesuai peraturan perundang-undangan. Soalnya, dia ikut menyusun UU Partai Politik, sehingga tahu benar “roh” dari undang-undang tersebut.
Namun dia berusaha memaklumi karena dalam suatu pertikaian pasti akan ada pihak yang tidak puas. “Saya tidak memecah belah Golkar maupun PPP. Kenyataannya sebelum masalahnya sampai ke saya, mereka memang sudah terpecah belah. Saya mengambil keputusan melalui kajian sangat mendalam. Hakim Agung dan Hakim Konstitusi membenarkan keputusan saya. Setiap kebijakan selalu siap saya pertanggungjawabkan kepada siapapun, termasuk kepada presiden.
“Selama saya yakin jika keputusan saya sesuai UU, sesuai dengan keilmuan saya, maka saya terusmaju. Sejauh ini saya bersyukur, Presiden bisa memahami keputusan saya,” ujarnya.
“Soal remisi, remisi adalah hak setiap narapidana, termasuk koruptor. Filosofi kita di Kemenkumham kan pembinaan, pemasyarakatan, bukan penghukuman yang didasari pembalasan dendam. Kemenkumham tugasnya membina manusia bukan membinasakan manusia. Jangan sampai terjadi, Kemenkumham justru melanggar HAM. Jadi kalau ada tahanan sudah berkelakuan baik, sesuai ketentuan UU dia berhak mendapatkan remisi,” ujar lelaki yang pernah meraih penghargaan Sigma Iota Rho International Honor Society itu.
Menurut Yasonna, kalau lembaga lain, katakanlah KPK, ingin supaya seorang koruptor dihukum berat, maka jatuhkanlah hukuman itu di pengadilan, bukan di Kemenkumham. Kemenhumhan tugasnya hanya membina, bukan menjatuhkan hukuman. Bagian dari pembinaan itu adalah memberikan hak pendidikan, hak beribadah, hak untuk dikunjungi keluarga, dan hak-hak lain termasuk memberikan hak remisi bagi narapidana yang berkelakuan baik. “Di lapas mana pun di dunia ini pasti ada kebijakan remisi. Jika tidak mau ada remisi, berarti pengadilan harus memberikan hukuman mati atau vonis seumur hidup. Jika masih dihukum sementara, maka setiap tahanan berhak mendapatkan remisi,” ujarnya.
Meski memperjuangkan hak pemberian remisi bagi setiap narapidana, Yasonna tetap setuju jika ada treatment khusus bagi narapidana kasus korupsi, teroris dan bandar narkoba. “Misalnya napi kasus lain mendapatkan remisi dua bulan, maka untuk napi korupsi, teroris dan bandar narkoba hanya setengahnya, itupun harus melalui proses tertentu. Nah, kalau pembedaan semacam ini, kita setuju,” tukas Yasonna.
Soal pemberitaan di beberapa media massa yang cenderung menyudutkan dirinya, Yasonna merasa hal itu sangat wajar terjadi, mengingat jaringan media massa saat ini dikuasai oleh pengusaha-pengusaha yang ikut terjun ke kancah politik. Media massa semacam itu tentu akan selalu berusaha mendiskreditkan lawan-lawan politik mereka.
Penulis: Turunan Gulo, Mario Hulu dan Eka Maryono